Senin, 25 Februari 2013

Bersikap Jujur, Menjauhi Dusta


PDFPrintE-mail
Wednesday, 13 April 2011 16:45
Seorang Muslim sejatinya bukanlah pem- bohong atau orang yang biasa melakukan kebohongan. Bahkan seharusnya ia tidak pernah berbohong; kecuali dalam hal yang dibenarkan oleh syariah, seperti pada saat berperang melawan musuh atau demi mendamaikan dua orang Muslim yang sedang berselisih. Sebaliknya, seorang Muslim wajib selalu berkata dan bersikap jujur/benar. Apalagi jika dia adalah seorang pemimpin umat, tokoh masyarakat, atau malah seorang pejabat atau penguasa.
Berbohong jelas perbuatan dosa. Sebaliknya, berkata dan berperilaku jujur/benar adalah wajib. Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan jadilah kalian beserta orang-orang yang jujur/benar (QS at- Taubah [9]: 119).
Dalam kitab Hawasyi Syarh al-'Aqa'id, al-'Allamah Ibn Abi Syarif menyatakan, “Dalam istilah kaum sufi, kejujuran/kebenaran (ash-shidqu) bermakna: samanya (perilaku seseorang) dalam keadaan tersembunyi (dari manusia) maupun dalam keadaan terang-terangan(terlihat manusia); kesesuaian (penampakan) lahiriah seseorang dengan batiniahnya. Dengan kata lainkeadaan seorang hamba tidak bertentangan dengan perilakunya, dan perilakunya tidak berlawanan dengan keadaannya.”
Dalam kitab Risalah al-Qusyairiyah karya Syaikh Zakariya dinyatakan bahwa al-Junaid pernah ditanya, “Samakah sikap jujur/benar dengan ikhlas?” ia menjawab, “Keduanya berbeda. Jujur/benar itu pangkal/pokok (ashl[un]), sementara ikhlas itu ranting/cabang (far'[un]). Kejujuran/kebenaran adalah pangkal segala sesuatu, sedangkan keikhlasan tidak terjadi kecuali setelah melakukan perbuatan. Amal perbuatan tidaklah diterima oleh Allah SWT  kecuali dengan sikap jujur/benar dan ikhlas.”
Dalam ayat di atas, Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah; yakni dengan cara meninggalkan maksiat (dan tentu dengan menjalankan ketaatankepada Allah SWT). Jadilah kalian beserta orang-orang yang jujur/benar; yakni baik dalam keimanan maupun dalam memenuhi berbagai macam perjanjian.  Sebagian ulama menyatakan: ma'a ash-shadiqqin (beserta orang- orang yang jujur/benar) artinya bersama orang-orang yang senantiasa berdiri di atas jalan hidup yang benar ('ala minhaj al-haqq).
Terkait dengan ayat di atas, di dalam sebuah hadisnya Baginda Rasulullah SAW bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Mas'ud, “Sesungguhnya kejujuran/kebenaran (ash-shidqu) mengantarkan pada kebaikan (al-birru), dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan pada surga. Sesungguhnya kebohongan/kedustaan mengantarkan pada kefasikan/kemaksiatan, dan sesungguhnya kefasikan/kemaksiatan mengantarkan pada neraka. Sesungguhnya seseorang yang benar-benar bersikap jujur/benar akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur/benar. Sesungguhnya seseorang yang benar- benar berbohong di sisi Allah akan dicatat sebagai pembohong.” (Mutaffaq 'alaih).
Maknanya, kejujuran/kebenaran dalam ucapan akan mengantarkan pada amal shalih yang sunyi dari segala cela. Dalam hal ini al-birru adalah nama untuk
menyebut segala jenis kebaikan (al-khayr). Imam al- Qurthubi berkata, “Setiap orang yang memahami Allah SWT wajib bersikap jujur/benar dalam ucapan, ikhlas dalam amal perbuatan dan senantiasa 'bersih' (tidak banyak melakukan dosa/kemaksiatan) dalam seluruh keadaan. Siapapun yang keadaannya seperti itu, dialah orang-orang benar-benar baik dan benar-benar ada dalam ridha Allah Yang Maha Pengampun.” (Lihat: Muhammad bin 'Allan ash-Shiddiqi, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadh ash-Shalihin, I/ 146).
Seorang yang jujur/benar pasti akan jauh dari sifat- sifat munafik—sebagaimana dinyatakan oleh Baginda Rasulullah SAW—yakni: dusta dalam berbicara;  ingkar janji, mengkhianati amanah (HR al-Bukhari dan Muslim).
Terkait dengan sifat munafik ini, Sahabat Hudzaifah ra pernah berkata, “Orang-orang munafik sekarang lebih jahat (berbahaya) daripada orang munafik pada masa Rasulullah SAW” Saat ia ditanya, “Mengapa demikian?” Hudzaifah menjawab, “Sesungguhnya pada masa Rasulullah SAW mereka menyembunyikan kemunafikannya, sedangkan sekarang mereka berani menampakkannya.” (Diriwayatkan oleh al-Farayabi tentang sifat an-nifaq(51-51), dengan isnad sahih).
Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Al-Kidzb (dusta) adalah salah satu rukun  dari kekufuran.” Selanjutnya ia menuturkan bahwa jika Allah menyebut kata nifak dalam Alquran, maka Dia menyebutnya bersama dengan dusta (al-kidzb). Demikian pula sebaliknya (Lihat: QS al- Baqarah: 9-10; QS al-Munafiqun: 1).
Walhasil, dusta/bohong merupakan karakter yang secara kongkret membuktikan bahwa pelakunya telah terjangkiti virus kemunafikan. Semoga kita terpelihara dari sifat tersebut. Amin [] abi

Minggu, 24 Februari 2013

Memelihara Kemuliaan Akhlak


PDFPrintE-mail
Sunday, 03 February 2013 13:28
Akhlak mulia adalah bagian yang tak terpisahkan dari ajaran Islam. Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Kemuliaan seseorang ada pada agamanya, kehormatannya ada pada akalnya dan keagungannya ada pada akhlaknya.” (HR Ahmad, al-Hakim dan ath-Thabrani).
Bahkan membentuk dan menyempurnakan akhlak mulia adalah salah satu misi utama Rasulullah SAW diutus ke dunia. Rasulullah SAW sendiri yang menyatakan demikian, sebagaimana dinyatakan oleh Abu Hurairah ra, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, wajar jika akhlak mulia adalah salah satu yang disukai Allah SWT. Sebaliknya, akhlak yang buruk adalah perkara yang dibenci Allah SWT. Dalam hal ini, Amir bin Said bin Abi Waqash ra dari bapaknya berkata, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Mahamulia yang menyukai kemuliaan; Allah itu Mahamurah yang mencintai kemurahan dan kemuliaan akhlak serta membenci keburukan akhlak.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).
Inilah pula yang menjadi alasan Rasulullah SAW selalu memanjatkan doa kepada Allah SWT agar menunjukkan kepada beliau akhlak mulia. Demikianlah sebagaimana kata Ali bin Abi Thalib ra. bahwa Rasulullah saw. pernah memohon dalam salah satu doanya, “Ya Allah, tunjukilah aku pada akhlak yang paling mulia, karena sesungguhnya tidak ada yang bisa menunjuki aku pada akhlak yang paling mulia kecuali Engkau, dan palingkanlah aku dari akhlak yang buruk, dan tidak ada yang bisa menghindarkan aku dari akhlak yang buruk kecuali Engkau.” (HR Ahmad).
Akhlak mulia adalah salah satu amalan atau sifat orang Mukmin yang bakal menjadi penduduk surga. Demikianlah menurut sabda Rasulullah SAW, sebagaimana dituturkan oleh Anas bin Malik ra. “Sesungguhnya kemuliaan akhlak adalah bagian dari amalan penduduk surga.” (HR Ibn Abi Dunya’).
Rasulullah SAW memberi kita contoh di antara akhlak mulia yang harus kita miliki sebagaimana yang beliau ajarkan kepada Uqbah bin Amir ra, “Wahai Uqbah, maukah engkau aku beritahu akhlak yang paling mulia dari penduduk dunia dan akhirat? Yaitu engkau menyambungkan silaturahmi dengan orang yang memutuskannya; engkau memberi kepada orang yang tak pernah memberi kepadamu; dan engkau memaafkan orang yang telah menzalimi kamu.” (HR Al-Hakim dan ath-Thabrani).
Perbuatan akhlak di atas bahkan dengan kualitas keimanan seorang Muslim. Beliau bersabda sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra, “Tidaklah seorang hamba dapat meraih keimanan yang benar hingga ia menyambungkan hubungan silaturahmi dengan orang yang memutuskannya, memaafkan orang yang menzalimi dirinya, mengampuni orang yang mencelanya dan berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepada dirinya.” (HR Ibn Abi Dunya’).
Wajarlah jika perbuatan akhlak di atas di atas dapat meringankan hisab Allah SWT atas manusia di akhirat kelak. Dalam hal ini, Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Ada tiga perkara yangsiapapun memilikinya maka Allah akan menghisab dirinya dengan penghisaban yang mudah dan ringan serta memasukkan dirinya ke dalam surga-Nya dengan rahma-Nya, yaitu: engkau memberi kepada orang yang tidak pernah memberi kepadamu; engkau memaafkan orang yang telah menzalimimu; dan engkau menyambungkan hubungan silaturahmi dengan orang yang memutuskannya.” (HR Al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).
Namun demikian, pada akhirnya, akhlak mulia tetaplah merupakan buah dari ketakwaan seorang Muslim kepada Allah SWT. Orang bertakwalah—tentu dengan akhlak mulianya—yang paling mulia di hadapan Allah SWT. Dalam hal ini, Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasullah SAW pernah ditanya, “Siapa manusia termulia.” Beliau menjawab, “Orang yang paling bertakwa.” (HR Ibn Abi Dunya’).
Hanya dengan takwa itulah manusia bisa meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang dituturkan oleh Ibn Abbas ra, “Siapa saja yang kebahagiaannya adalah menjadi orang yang paling mulia, hendaklah ia bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Siapa saja yang kebahagiaannya adalah menjadi orang yang paling kuat, hendaklah ia bertawakal kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Siapa saja yang kebahagiaannya adalah menjadi orang yang paling kaya, hendaklah ia lebih meyakini apa yang ada di sisi Allah SWT lebih daripada apa yang ada pada dirinya sendiri.” (HR Al-Baihaqi).
Maka dari itu, wajar jika ketakwaan menjadi pilihan orang-orang yang cerdas dan mulia. Dalam hal ini, Ibn Umar ra suatu ketika pernah mendatangi Rasulullah SAW Lalu datang seseorang dari kalangan Anshar kepada beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling cerdas dan paling mulia?” Beliau menjawab, “Dia yang paling banyak mengingat mati, paling keras usahanya dalam mempersiapkan bekal menghadapi kematian. Itulah orang yang paling cerdas. Mereka pergi dengan membawa kehormatan dunia dan kemuliaan akhirat.” (HR Ibn Abu Dunya’). (Ibn Abi ad-Dunya’, Makarim al-Ikhlaq, Maktabah Syamilah).
Karena itu, mari kita senantiasa memelihara kemuliaan akhlak kita. Wa ma tawfiqi illa bilLah. [] abi

Dampak Game Online


PDFPrintE-mail
Saturday, 16 February 2013 10:43
Assalaamu’alaikum Wr Wb
Ibu Pengasuh Rubrik Konsultasi Keluarga yang saya hormati, anak saya laki-laki akhir-akhir ini sikapnya agak berubah. Mudah sekali emosi, dan melakukan tindak kekerasan jika marah. Padahal hanya persoalan-persoalan kecil. Saya amati, sikapnya berubah setelah mulai senang bermain game online. Di luar jam sekolah, waktunya memang dihabiskan untuk itu. Apakah ada pengaruhnya ya Bu, bermain game online pada kondisi psikologi anak, terutama perilaku kekerasan. Apa yang sebaiknya saya lakukan pada anak saya? Terima kasih untuk nasihatnya.
Wassalaamu’alaikum Wr Wb
MF
Jawa Barat
Wa’alaikumsalam Wr Wb
Ibu MF yang baik,
Seiring perkembangan teknologi, internet menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Selain sebagai media  informasi, internet juga bisa dijadikan sebagai media hiburan, seperti misalnya bermain game. Game online diminati  berbagai kalangan usia, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Meski bisa dijadikan sebagai sarana hiburan, game online juga bisa berdampak buruk pada psikologis penggunanya, terutama anak anak.
Ibu MF yang baik,
Game online memiliki sifat adiktif atau candu, sehingga waktu anak banyak dihabiskan untuk bermain.  Jika sudah demikian, maka  waktu istirahat anak menjadi berkurang dan dapat memengaruhi kegiatannya, terutama aktivitasnya di sekolah. Kecanduan game online ini memiliki dampak bagi psikologis anak. Di antaranya, dapat menghambat perkembangan sosial anak,  karena akan mengurangi aktivitas positif yang seharusnya dijalani oleh anak pada usia perkembangan mereka. Anak yang mengalami ketergantungan pada aktivitas game, akan berkurang waktu belajar dan bersosialisasi dengan teman sebayanya. Jika ini berlangsung terus menerus dalam waktu lama, anak akan menarik diri pada pergaulan sosial, tidak peka dengan lingkungan, bahkan bisa membentuk perilaku asosial.
Ibu MF yang baik,
Anak belajar dari apa yang dilihatnya. Game online yang berbau kekerasan dapat menyebabkan anak mengikuti karakter game tersebut. Selain itu, tak jarang game online mengajarkan anak untuk berkata kasar dan tidak sopan. Terkadang, karena ingin meneruskan permainan padahal tidak punya uang, anak bisa terdorong melakukan tindak kejahatan seperti mencuri. Belum lagi jika bicara nilai pelajaran di sekolah bisa menurun karena konsentrasi belajar juga turun. Game online juga dapat mengajarkan anak untuk taruhan atau berjudi meskipun dengan uang game. Dan, dapat pula menyebabkan ketegangan emosional antara orang tua dan anak, jika anak sudah kecanduan.
Ibu MF yang baik,
Melihat dampak negatif yang ditimbulkan oleh game online pada anak, tentunya diperlukan solusi untuk mengurangi bahkan menanggulangi dampak negatif tersebut. Ajaklah anak Anda bicara dari hati ke hati tanpa emosi. Tanyakan kepadanya, apa yang ia rasakan saat bermain game online. Prinsipnya, ajak ia bicara sejujurnya dan dengarkan ungkapan hatinya. Tanyakan juga kepadanya, sampai kapan ia akan terus menghabiskan waktunya untuk bermain game. Ingatkan kembali pada impian dan cita-cita yang ingin ia raih. Katakan kepadanya, bahwa jika ia membiarkan dirinya seperti ini, maka akan menjadi anak yang merugi. Waktu sesungguhnya amat berharga.

“Dua nikmat yang kebanyakan manusia lalai untuk memanfaatkannya dengan sebaik mungkin adalah kesehatan dan waktu luang”. (HR. Bukhari)

Ibu MF yang baik,
Buatlah kesepakatan bersama untuk membatasi waktu bermain game online. Dan sepakati   pula bentuk hukumannya jika ananda melanggar. Sesekali luangkan waktu Anda untuk bermain bersamanya. Ajaklah ia jalan-jalan ke tempat yang membangunkan kepeduliannya. Sering-seringlah Anda mengucapkan kata-kata positif  kepada ananda,  termasuk kalimat yang menunjukkan apresiasi jika menemukan seberapa pun perubahan positif pada perilaku ananda. Berikan alternatif kegiatan menyenangkan lainnya. Coba alihkan perhatian ananda dengan beragam kegiatan positif, sehingga hari-harinya menjadi padat. Akhirnya,  ketergantungan anak pada aktivitas game online memang memerlukan perhatian dari berbagai pihak, baik pemerintah, orang tua ataupun pengusaha yang bergerak pada layanan internet. Jangan sampai keberadaan games online membuat generasi ini tidak mempunyai kemampuan apa-apa, kecuali kemapuannya dalam bermain game.

Bencana Ditangkal dan Tawakkal


PDFPrintE-mail
Sunday, 03 February 2013 11:22
Prof. Dr. Fahmi Amhar
Banjir lima tahunan kembali mengancam wilayah pantai utara pulau Jawa.  Beberapa waktu lalu, jalur tol Jakarta-Merak terputus karena tergenang Banjir.  Angin puting beliung juga menumbangkan banyak pohon dan baliho, bahkan juga tumpukan kontainer di Tanjung Priok.  Akibat hujan deras, jalur Puncak Pass terkena longsor yang menyebabkan jalur Bogor-Cianjur terputus beberapa hari.  Di Jakarta, banjir sekecil apapun akan berakibat macet amat parah hingga ke daerah yang tidak kebanjiran.  Dan kalau sudah musim bencana ini, tiba-tiba kita seperti diingatkan lagi, bahwa Indonesia memang bukan hanya negeri yang kaya dengan sumber daya alam, tetapi juga negeri dengan potensi bencana alam yang berlimpah.
Kita berada tepat di batas-batas lempeng Eurasia, Hindia, Australia dan Pasifik.  Kita punya 129 gunung api aktif.  Semua ini berpotensi gempa, longsor, tsunami dan erupsi yang mampu menghancurkan kehidupan dalam seketika.  Kita juga berada di persimpangan angin dan arus laut antara Asia – Australia dan antara Hindia – Pasifik.  Maka bencana banjir, abrasi gelombang pasang, puting beliung, kekeringan hingga kebakaran hutan juga rajin berkunjung.
Namun, kenyataannya bangsa ini masih belum banyak belajar.  Seharusnya mereka adalah maestro-maestro dunia dalam menghadapi bencana.  Seharusnya bangsa-bangsa lain banyak belajar ke Indonesia.  Namun yang terjadi, bencana belum benar-benar ditangkal, namun baru dihadapi dengan sebatas tawakal.
Apakah demikian juga yang terjadi di masa lalu, ketika Daulah Islam masih tegak?
Sebenarnyalah wilayah Daulah Islam yang amat luas juga bersentuhan dengan berbagai potensi bencana alam.  Wilayah sekitar gurun di Timur Tengah dan Afrika Utara amat rawan kekeringan.  Lembah sungai Nil di Mesir atau sungai Eufrat-Tigris di Irak amat rawan banjir.  Sementara itu Turki, Iran dan Afghanistan sampai sekarang juga masih sangat rawan gempa.  Selain itu kadang-kadang wabah penyakit yang hingga abad 18 belum diketahui pasti penyebab maupun obatnya datang menghantam, misalnya cacar (variolla) atau pes.  Namun toh Daulah Islam tetap berdiri tegak lebih dari 12 abad.  Kalaupun Daulah ini kemudian sirna, itu bukan karena kelaparan, penyakit, atau bencana alam, tetapi karena kelemahan di antara mereka sendiri, terutama elite politisnya, sehingga dapat diperalat oleh para penjajah untuk saling bertengkar, membunuh dan memusnahkan.
Untuk menangkal kekeringan (yang penyebabnya kini telah ditemukan para ahli dengan istilah siklus el-Niño) para penguasa Muslim di masa itu telah membangun bunker gudang makanan.  Bunker ini biasanya berupa ruangan di bawah tanah yang dijaga agar tetap kering.  Di situ disimpan bahan makanan seperti gandum, kurma, minyak goreng dan sebagainya yang cukup untuk persediaan selama dua musim.  Bunker ini tak cuma berguna sebagai cadangan logistik bila ada bencana tetapi juga persiapan bila ada serangan musuh yang mengepung kota.  Saat Perang Dunia ke-2, tentara Jerman di Libya menemukan beberapa bunker di sebuah kota yang telah ditinggalkan penghuninya beberapa puluh tahun.  Yang luar biasa, hampir semua bahan makanan di bunker itu masih bisa dikonsumsi.
Sementara itu untuk antisipasi banjir, para penguasa Muslim membangun bendungan, terusan dan alat peringatan dini.  Insinyur Al-Farghani (abad 9 M) telah membangun alat yang disebut Nilometer untuk mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil secara otomatis di berbagai tempat.  Setelah bertahun-tahun mengukur, al-Farghani berhasil memberikan prediksi banjir sungai Nil baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Namun seorang Sultan di Mesir pada abad 10 M tidak cukup puas dengan early warning system ala al-Farghani.  Dia ingin sungai Nil dapat dikendalikan sepenuhnya dengan bendungan.  Dia umumkan sayembara untuk insinyur yang siap membangun bendungan itu.  Adalah Ibn al-Haitsam yang akhirnya memenangkan kontrak pembangunannya.  Namun tatkala dia berjalan ke arah hulu sungai Nil guna menentukan lokasi untuk bendungan, dia tertegun menyaksikan piramid-piramid raksasa yang dibangun Fir’aun.  Dia berpikir, “Fir’aun yang sanggup membangun piramid saja tak mampu membendung sungai Nil, apalah artinya aku?”  Karena malu dan takut menanggung konsekuensi karena membatalkan kontrak, Ibn al-Haitsam kemudian pura-pura gila, sehingga oleh penguasa Mesir dia dikurung di rumah dan hartanya diawasi negara.  Dalam tahanan rumahnya itulah Ibn al-Haitsam mendapat waktu untuk melakukan berbagai eksperimen optika, sehingga akhirnya menjadi Bapak Optika.  Dia baru dilepas beberapa tahun setelah penguasa Mesir ganti dan orang sudah mulai lupa kasusnya.  Meski Ibn al-Haitsam tak berhasil membangun bendungan di masanya, namun fisika optikanya adalah dasar bagi Galileo dan Newton dalam mengembangkan mekanika.  Dengan fisika Newton inilah pada abad-20 orang berhasil membendung sungai Nil dengan bendungan Aswan.
Di Turki, untuk menangkal gempa, orang membangun gedung-gedung tahan gempa.  Sinan, arsitek Sultan Ahmet yang fenomenal, membangun masjidnya itu dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh serta pola-pola lengkung berjenjang yang dapat membagi dan menyalurkan beban secara merata.  Semua masjid yang dibangunnya juga diletakkan pada tanah-tanah yang menurut penelitiannya saat itu cukup stabil.  Gempa-gempa besar di atas 8 Skala Richter yang terjadi di kemudian hari terbukti tak membuat dampak sedikitpun pada masjid itu, sekalipun banyak gedung modern di Istanbul yang justru roboh.
Jadi bencana-bencana alam selalu ditangkal dengan ikhtiar, tak cukup sekadar tawakkal.  Penguasa Daulah Islam menaruh perhatian yang besar agar tersedia fasilitas umum yang mampu melindungi rakyat dari berbagai bencana.  Mereka membayar para insinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan bangunan tahan bencana, membangun bunker cadangan logistik, hingga melatih masyarakat untuk selalu tanggap darurat.  Aktivitas jihad adalah cara yang efektif agar masyarakat selalu siap menghadapi situasi terburuk.  Mereka tahu bagaimana harus mengevakuasi diri dengan cepat, bagaimana menyiapkan barang-barang yang vital selama evakuasi, bagaimana mengurus jenazah yang bertebaran, dan bagaimana merehabilitasi diri pasca kedaruratan.
Para pemimpin dalam Daulah Islam juga orang-orang yang terlatih dalam tanggap darurat.  Mereka orang-orang yang tahu apa yang harus dikerjakan dalam situasi normal maupun genting, bukan orang-orang yang hanya













Nilometer yang dibangun al-Farghani